Proses perizinan untuk mengembangkan suatu kawasan atau bangunan dinilai masih kurang efisien, baik dari segi kuantitas maupun pemanfaatan waktu.
Pakar hukum pertanahan dan properti Indonesia Eddy Leks mengatakan proses perizinan pembangunan di Indonesia masih melibatkan banyak instansi daerah sehingga banyak macam izin yang harus didapat oleh pengembang dan memakan waktu yang lama.
"Memang mungkin jika dilihat dari segi kuantitas, seperti perizinan dari pembebasan tanah, konstruksi, sampai pengelolaan properti, jumlah izinnya itu banyak," ujar Eddy kepada Bisnis, Minggu (28/10/2018).
Eddy menjelaskan untuk dapat membangun kawasan atau bangunan, setidaknya pengembang harus melalui beberapa tahap seperti mendapatkan izin lokasi yang kemudian dilanjutkan mendapatkan perolehan keterangan rencana kota (KRK), izin peruntukkan penggunaan tanah (IPPT), rencana induk (master plan), analisa dampak lingkungan hidup (AMDAL), analisa dampak lalu lintas (ANDALALIN), izin lingkungan, dan rekomendasi Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan untuk akhirnya bisa memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk memulai tahap konstruksi.
Bahkan pada daerah tertentu, sebelum mendapatkan IMB pengembang juga harus mendapatkan izin pendahuluan (IP), yaitu izin untuk melakukan hal-hal tertentu, seperti IP pondasi, IP struktur, dan IP persiapan.
Belum lagi praktik pungutan liar, lanjut Eddy, atau biaya tambahan di luar biaya resmi yang harus dikeluarkan oleh pengembang sehingga hal ini yang menjadi ladang korupsi dan suap-menyuap.
Banyaknya macam perizinan yang harus didapatkan untuk mengembangkan satu bangunan memang menjadi titik lemah proses perizinan. Namun, jumlah izin yang banyak tersebut jika dilakukan dengan memperhatikan efisiensi waktu tidak akan menimbulkan banyak permasalahan.
"Secara esensi saya melihat masalahnya bukan di jumlah izin, tetapi efisiensi dan kecepatan proses perizinannya yang perlu ditingkatkan," papar Eddy.
sumber: bisnis
0 comments:
Post a Comment