Aturan kepemilikan hunian oleh warga negara asing di Indonesia yang dihadapkan oleh sejumlah kontra segera dibahas dalam waktu dekat.
Pengembang berharap agar aturan itu semakin jelas agar bisa menggenjot minat asing untuk membeli rumah di Indonesia.
Sekjen DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengusulkan agar ketentuan orang asing yang bisa membeli properti di Indonesia tidak perlu wajib punya visa atau jika bebas kunjungan biasanya pakai stempel yang ada di imigrasi.
Selain itu, REI mengusulkan agar pemerintah bisa lebih kompetitif dari negara lain, untuk menambah jangka waktu hak milik menjadi 50 tahun langsung.
“Untuk aturan itu, kami mengusulkan ke depan supaya kepemilikannya bisa langsung 50 tahun, tetapi pengembang harus sudah menyelesaikan SLF [sertifikat laik fungsi] dan pertelaan sudah selesai dilakukan. Ini sudah disosialisaikan ke INI [Ikatan Notaris Indonesia] dan IPAT [Ikatan PPAT],” ujarnya, Rabu (10/7/2019).
Selain itu, menurut Totok, dengan kebebasan terkait izin tinggal, akan membuka peluang yang lebih besar bagi minat asing untuk masuk dan membeli properti di Indonesia.
“Di PP 103 Tahun 2015 kan yang memenuhi syarat termasuk orang asing yang berkunjung. Nah, kalau harus memiliki kitas [kartu izin tinggal terbatas] itu terbatas sekali dan pasti kebanyakan pekerja. Mereka mah enggak beli, kebanyakan kos, kontrak, sewa. Yang beli biasanya pengusaha, mereka biasanya enggak mau ngurus kitas,” kata Totok.
Dengan aturan yang ada sekarang, kata Totok, pemerintah bagaikan mencari “obat” untuk menyehatkan kembali iklim properti di Indonesia, tetapi hanya sekadar memberi penghilang rasa sakit saja, bukan mengatasi ke sumbernya.
“Pelonggaran aturan untuk asing yang 1 bulan—2 bulan lagi akan dibahas kan maksudnya untuk mendorong properti, tapi enggak maksimal karena masih ada pembatasan-pembatasan itu,” lanjutnya.
Direktur PT Colliers International Indonesia Stephen E. Atherton, sebagai ekspatriat yang juga tinggal di Jakarta, mengharapkan agar batasan harga hunian yang bisa diambil WNA bisa lebih rendah.
Hal ini, menurutnya, bisa memberi kesempatan dan minat lebih besar bagi warga asing untuk masuk ke pasar properti Indonesia.
“Sebenarnya minat banyak, apalagi dari negara-negara tetangga. Kalau bisa mungkin harganya diturunkan. Sekarang di Jakarta harga minimal untuk dibeli Rp10 miliar, itu masuk pasar mewah, padahal tidak semua mau rumah besar, harga mahal, tidak semua punya uang segitu, tapi mau beli di Indonesia,” ungkapnya.
Minat beli apartemen atau rumah di Indonesia, kata Atherton, masih sangat kecil. Padahal dari segi pasokan banyak dan pengembang bisa dengan mudah membangun kalau memang peminatnya banyak.
sumber: bisnis
0 comments:
Post a Comment