.

.

.
  • Latest News

    Thursday 6 July 2023

    Lahan Hunian Makin Sempit di Jakarta, Begini Peluang Pengembangan Co-residence

     


    Tren hunian co-residence atau yang dikenal juga dengan sebutan co-housing (community housing atau collaborative housing) semakin menjamur di DKI Jakarta. Inisiatif yang digalakkan masyarakat perkotaan ini memiliki peluang bisnis tersendiri. 

    Ketua Kelompok Ilmu Perumahan dan Permukiman Perkotaan Universitas Indonesia Joko Adianto menjelaskan, co-residence menjadi solusi dari keterbatasan hunian dan mahalnya harga lahan di Jakarta. Dalam hal ini, wujud co-residence berupa hunian vertikal dengan konsep multi-family housing. 

    "Co-residence berasal dari inisiatif dan hasil swadaya masyarakat, serta ketinggian bangunannya hanya sekitar 4 lantai," kata Joko dalam konferensi pers Jakarta Property Institute terkait Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta Melalui Co-residence, dikutip Rabu (5/7/2023).  


    Artinya, co-residences memang berbeda dengan tipe hunian vertikal lainnya, sebab inisiator pengembangan bisnisnya pun berbeda. Hunian vertikal saat ini umumnya dibangun pengembang atau pemerintah yang berupa tower rumah susun atau apartemen dengan ketinggian lebih dari 15 lantai.


    Dia memerincikan, konsep hunian ini dapat mendukung pasokan hunian terjangkau. Hal ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi DKI Jakarta (RPJMD) 2017-2022 yang menargetkan pembangunan 250.000 unit hunian layak dan terjangkau.  


    Dalam simulasi potensi penyediaan jumlah unit dengan penerapan co-residence, Joko memberikan contoh di lahan seluas 360 hektare dengan luas per unitnya 36 meter persegi. Dengan ukuran hunian tersebut, maka setidaknya dapat menghasilkan 280.000 unit hunian jika dibandun secara vertikal setinggi 4 lantai. 


    Ide pengembangan co-residence ini dilihat dari data terakhir lahan perumahan di Jakarta, yakni sebesar 320,6 kilometer persegi dari total lahan sebesar 662,33 km persegi. Adapun, 91 persen di antaranya digunakan untuk landed house atau rumah tapak.  

    Namun, Jakarta masih memiliki backlog hunian kurang lebih sebanyak 250.000 unit. Menurut Joko, terjadinya backlog ini bukan disebabkan oleh kurangnya pasokan hunian, melainkan ketidaksesuaian antara jumlah pasokan yang tersedia dengan daya beli masyarakat.  


    "Jadi bukan karena kurang rumah, tapi ada ketidaksesuaian supply dan demand yang dipicu kenaikan harga rumah dan daya beli yang tidak sesuai. Kita lihat ada peningkatan harga rumah, paling tinggi [kenaikannya] itu rumah keci," ujarnya.  


    Penerapan konsep hunian co-residence juga dinilai dapat menambah pendapatan daerah berupa pajak dan pendapatan lainnya melalui peningkatan konsumsi harian masyarakat.  


    Sayangnya, regulasi terkait tipe hunian ini masih minim, meskipun telah terbantu oleh Peraturan Gubernur (Pergub) No. 31 Tahun 2022 Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 


    "Penataan ulang tata atur zonasi bersifat signifikan agar  dapat mengadaptasi tipe hunian co-residence," jelasnya.  


    Pasalnya, konsep co-residence membutuhkan  pengukuhan regulasi bagi perumahan untuk keluarga jamak (multi-family housing) ke dalam tipe hunian yang kelak diterjemahkan ke dalam peraturan zonasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.  


    Tak hanya itu, pembangunan hunian dengan tipe co-residence membutuhkan  penyesuaian pada aspek tata ruang, sekaligus aspek sosial, pembiayaan dari perbankan, sistem kepemilikan termasuk sewa jangka panjang, dan perizinan


    Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah DKI Jakarta Iwan Kurniawan mengatakan, penyediaan hunian di Jakarta melalui co-residence merupakan salah satu bagian dari rangkaian housing continuum.   


    “Hal ini bukan baru, sudah terjadi mungkin seperjalanan Jakarta ini sudah jadi co-residence hanya belum disinggung karena bukan hal formal yang diatur dalam regulasi," jelas Iwan.  


    Saat ini, arah tata wilayah permukiman dan pengaturan hunian telah diatur dalam Pergub No.31/2022 bahwa rumah tinggal dapat dibangun hingga 4 lantai dengan syarat dan ketentuan tertentu untuk mendorong optimalisasi lahan.  

    Adapun, kepemilikan bersama seperti kepemilikan multi-family housing atas satu bangunan  (rumah flat), Iwan melanjutkan, diperlukan terobosan pengaturan mengenai kepemilikan atas bangunan gedung. 


    Senada, Sub Koordinator Urusan Perencanaan Permukiman Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Sapta Satria Putra mengatakan, konsep co-residence memberi pemahaman lebih mendalam terhadap potensi pembangunan perumahan di Indonesia, khususnya bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.  


    Kebutuhan warga Jakarta terkait perumahan tergambarkan dengan baik sehubungan dengan dinamika yang terjadi dalam kota Jakarta. 


    Sapta mengatakan, ide-ide terkait ruang, ranah kepastian menghuni rumah, fasilitas permukiman dan usulan konstruktif dalam kajian dapat dijadikan pijakan bagi perumusan kebijakan di masa mendatang. 


    “Kami menyambut lebih banyak lagi partisipasi masyarakat dalam ide pembangunan perumahan di Jakarta,” tandasnya. 


    sumber:   ekonomi bisnis

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Lahan Hunian Makin Sempit di Jakarta, Begini Peluang Pengembangan Co-residence Rating: 5 Reviewed By: Simpro Realty
    Scroll to Top